Subscribe:

Labels

Wednesday, October 13, 2010

Burung-Burung Uang

Sang fajar siap untuk menampakkan cahayanya, menutup kegelapan malam, memancarkan surya kehidupan dari sang matahari terbit. Angin segar udara pagi masih terasa dingin menusuk seluruh tubuh. Hilir mudik sang pencari nafkah kehidupan tampak ramai memulai pekerjaannya, bahkan sebelum sang fajar meraba mereka telah berjaga mempersiapkan pekerjaannya, itulah para pedagang di pasar sayur, Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur.
“Pasar sayur”, begitulah mamaku menyebutnya, beliau membedakan antara pasar ganal (gede) atau pasar ikan dengan pasar sayur, dua pasar yang sering kami kunjungi setiap paginya. Ratusan bahkan ribuan orang setiap paginya mencari nafkah, jual beli, tukar tambah dan lain sebagainya dilakukan di pasar itu. Ada para pedagang buah, sayur, tahu, tempe, ayam, daging, dan lain sebagainya yang sudah sejak pukul 01.00 wib / malam sudah berada dipasar itu mempersiapkan dagangannya ataupun melayani pembeli dari berbagai daerah disekitar kota sampit. 

Pagi itupun, seperti di pagi-pagi sebelumnya, aku dan mamaku pergi ke pasar sayur tersebut untuk membeli kebutuhan warung nasi mamaku yang berada di PPM. Ada para tukang parkir yang setiap paginya sangat sibuk mengatur kendaraan pembeli dan pedagang yang kadang tidak tertib aturan, baik yang menggunakan motor, pick up, mobil, maupun truk, dengan sabarnya para tukang parkir tersebut mengatur dan merapikan agar akses jalan dapat lancar dan teratur sehingga kepadatan pasar tidak mengganggu pengguna jalan yang lain. Ada juga tukang becak yang sudah dari pagi sekali sudah bersiap menunggu para pengguna jasanya untuk mengangkut barang-barang. Ada juga para relawan mushola, yang baru-baru saja hampir setiap pagi berada di daerah pasar sayur untuk meminta sumbangan pembangunan mushola mereka. “Sumbangannya pa, sumbangannya bu, bantuannya pa, bantuannya bu, walaupun sedikit asal ada, untuk pembangunan mushola kami” kata salah seorang relawan mushola tersebut dengan pengeras suaranya. Lagu dan shalawat mengiringi kegiatan mereka untuk membangun tempat ibadah kebanggaan Allah SWT, seolah menjadi untaian tasbih di tengah keramaian pasar dengan berbagai kegiatannya, bagaikan seruan Nabiullah kepada umatnya untuk berinfak di jalan-Nya, meramaikan pasar yang sudah ramai dengan nuansa keimanan dan keislaman. Salut buat para relawan mushola, begitulah aku menganggapnya. Dulunya aku sempat malu kepada agamaku, kenapa sampai dalam membangun tempat-tempat ibadah seperti masjid dan mushola sering sekali meminta-minta di tengah jalan raya, bahkan kadang yang menjadi relawannya ialah anak-anak kecil yang seharusnya sekolah pada waktu itu. Aku membandingkan dengan agama lain yang saat membangun tempat ibadahnya tidak pernah meminta-minta dijalanan namun sebenarnya meminta-minta kepada yayasan luar negeri yang bersedia membiayai penyebaran agamanya. Namun akhirnya aku sedikit mengerti dan bangga, dari banyaknya para dermawan yang memberikan infaknya, dari sisi yang lain agamaku membuktikan bahwa agama ini adalah agama yang mengasihi, umatnya suka beramal dan meminta amal, suka tolong menolong untuk kepentingan umat, menjalin silaturrahmi antar sesama dengan mengeluarkan sebagian hartanya. Hendak rasanya jiwa dan raga ini bergerak untuk meneriakkan kalau agamaku sungguh rahmatan lil alamin.
Di tengah fajar yang menyongsong hari yang cerah, aku duduk seperti biasa menunggu mamaku yang sedang berbelanja di pasar tersebut. Biasanya mamaku berbelanja hampir sekitar 30- 60 menit setiap harinya. Kadang aku tidak tega melihat beliau yang sudah tua memingkul beban berat sebagai seorang ibu dari anak-anak pengoler (pemalas) seperti aku dan abangku, yang jarang sekali mau membantu beliau apalagi disuruh jualan dan pergi kepasar beli kebutuhan warung. Hanya itulah bantuan yang dapat aku lakukan, menunggu duduk termenung sendiri ditengah keramaian pasar. Mungkin benar kata sepupuku “Ikam tu anak yang pandai menulis ja, tapi bukan anak dapur, jadi canggung mengaut nasi.” Maksudnya aku hanya bisa belajar saja tanpa bisa bekerja yang memerlukan banyak tenaga. Mungkin begitulah aku dan abangku, memang anak yang dari kecilnya dimanjakan oleh kedua orang tua kami dulunya.
Aku duduk termenung sendiri di sepeda motor kebanggaan mamaku, walaupun buruk dan jarang di service, motor tersebut dengan setianya menjadi pembantu yang siap pergi kemana saja, mengangkut apa saja untuk kebutuhan warung kecil kami. Duduk seperti biasa memperhatikan sekitarku, melihat kondisi pasar yang ramai dengan lalu lalang para pedagang dan pembeli yang dengan semangat mengumpulkan nafkah-nafkah titipan Allah SWT.
Di pagi itupun, di tengah udara yang masih dingin, aku memandang ke langit, seolah ingin mengatakan kepada Sang pencipta “akhirnya aku disini, sesuai dengan kemauanmu dulu, sesuai dengan janjiku dulu, aku manusia biasa yang kau ciptakan ditengah orang-orang yang luar biasa ini, terima kasih ya Allah, AKU HIDUP.” Memandang langit yang ternyata sudah tidak perawan lagi, mendengar sahutan ayam yang sudah tidak kadaluarsa lagi, mendengar suara para relawan masjid yang seolah tersaingi oleh mega sound system para ahli layang. Begitulah nasib sang fajar di kota Sampit ini, ditengah pasar tersebut ternyata tidak hanya diramaikan oleh ratusan bahkan ribuan manusia yang mencari nafkah namun juga diramaikan oleh para Burung-burung uang yang baru terbangun dari tidur lelapnya. Burung-burung uang yang bersiap untuk mencari nafkah bagi para majikan yang telah mempersiapkan hotel berbintang sebagai tempat berteduhnya. Berkumpul, bergerombol, berteriak tidak karuan seolah ingin mengatakan kepada manusia yang banyak di pasar tersebut bahwa merekalah sebenarnya yang diagungkan, merekalah yang lebih dimuliakan, merekalah yang lebih lebah dalam menghasilkan uang, lebih besar dan lebih menguntungkan dari pada para pedagang dan pembeli yang sudah sejak tengah malam berada di kawasan pasar sayur tersebut. 
Burung Walet, begitulah nama lengkapnya, nama yang sungguh singkat dan mudah diingat serta terkenal sekali reputasinya sampai di negeri cina sana. Burung-burung uang, begitulah aku biasa menyebutnya. Banyak orang-orang di daerahku, bahkan dikampungku sekarang, Pegatan, memelihara burung-burung uang ini. Dengan bangunan megah dan menjulang tinggi ke angkasa, yang sering aku sebut sebagai hotel-hotel walet, berlantai paling sedikit dua tingkat bahkan ada yang mencapai enam tingkat. Kalau dibandingkan dengan hotel terbaik di kota sampit yang berlantai enam juga, yang katanya standar hotel berbintang dua, berarti bangunan megah walet tersebut sekarang sudah bertaraf bintang dua dan tiga juga, bahkan sudah dapat dikategorikan sebagai hotel megah walet bertaraf internasional. He…
Burung walet, memang mendapat wibawa yang istimewa di masyarakat daerahku. Bagaimana tidak, burung-burung uang ini mampu menghasilkan uang yang cukup lumayan bagi majikannya sehingga dapat pensiun kerja lebih cepat. Dari hasil sarang burung walet yang terkenal ampuh, sakti mandraguna, yang memiliki khasiat dan ciri yang istimewa, memiliki harga jual yang sangat menguntungkan. Dari satu kilogram sarang burung walet katanya sih dapat dijual sampai sepuluh hingga dua belas juta. Bayangkan aja kalau waletnya dalam sebulan mampu menghasilkan seratus kilogram per bulannya, banyak banget uang yang mampu dihasilkannya, besar dari gajih pegawai yang susah payah mencari cara untuk korupsi, besar daripada gajih presiden yang sering dicaci maki dan penuh pro kontra, besar dari gajih para politikus yang saling menggunjing dan mencurigai, besar daripada penghasilan para pedagang dan pembeli yang siang malam bekerja keras menawarkan jualannya, dan tentunya lebih besar daripada penghasilan warung nasi kecil milik mamaku yang seharinya hanya berpenghasilan dua ratus hingga lima ratus ribu perharinya.
Burung walet telah menjadi usaha yang menggiurkan yang saat ini ramai dikembangkan di kota Sampit tercinta ini, dari para cukong-cukong cina yang super kaya hingga tukang jualan pulsa beramai-ramai membangun bangunan-bangunan penghasil sarang walet. Memang daerah kalimantan ini seolah-olah menjadi tempat yang sangat mudah bagi para burung-burung penghasil uang untuk beradaptasi dan berkembang biak.
Ribuan hingga jutaan walet berterbangan di fajar pagi itu, akupun terkesima melihatnya, seorang hamba yang tidak punya apa-apa namun diistimewakan Allah penciptaannya ini seolah-olah malu melihat betapa lebih berharganya hidup para walet di dunia ini. Di fajar yang cerah itu, para walet berteriak dan menyebar  kepenjuru angkasa, ke berbagai penjuru dunia, seolah sudah mengerti bahwa tugasnya sekarang ialah mencari nafkah dengan mengumpulkan bahan baku untuk membentuk sarangnya yang akan di tempatkan di hotel-hotel para majikannya. Dengan beramai-ramai para walet itu saling sahut menyahut, panggil memanggil para kawanannya, berpindah-pindah dari satu bangunan ke bangunan lainnya seolah-olah ingin mensurvey hotel mana yang paling megah dan enak untuk ditempati, bagaikan sang pegawai kepresidenan yang sedang mengecek tempat mana yang paling cocok sebagai tempat bermalam sementara buat sang presiden itu.
Aku melihat sekelilingku, melihat para pedagang dan pembeli, masyarakat setempat, seolah-olah sudah terbiasa dengan para kawanan walet yang terbang meliuk-liuk diatasnya. Mereka seolah acuh tak acuh dengan para walet tersebut, seolah sudah mengerti bahwa para walet tersebut juga bagaikan manusia yang sedang mengumpulkan nafkah majikannya. Memang masyarakat di daerah ku ini dalam beberapa tahun terakhir, mungkin baru sekitar lima tahun terakhir sudah sangat mengerti dan maklum sekali dengan keberadaan walet. Para pertinggi pemerintahan pun seolah-olah berlomba-lomba masyarakatnya untuk mengistimewakan para walet tersebut dengan memberikan ijin mendirikan hotel-hotel walet di daerah kekuasaan mereka.
Tragis, begitulah pemikiranku tentang kebebasan dan aturan pemerintah daerahku dalam pembangunan hotel-hotel burung penghasil uang tersebut. Para pejabat seolah-olah tidak menimbang baik dan buruknya, hanya menimbang dari segi ekonominya, hanya memikirkan uangnya dan hasilnya saja, tidak memikirkan dampak yang merugikan dari burung penghasil uang tersebut. Kotaku sudah tidak seperti dulu lagi, sekarang kota ini menjadi kota yang sangat bising bagaikan dipenuhi ribuan kendaraan yang sedang macet dalam perjalanan, bagaikan mega sounsystem yang bergema tanpa nada yang jelas, bagaikan teriak para komandan pasukan yang sedang berperang, keras sekali bahkan sangat bising. Itulah salah satu dampak negatif yang tidak aku senangi dari burung walet tersebut.
Selain itu, menurutku, burung penghasil uang tersebut seolah secara tidak langsung, menurunkan harkat dan martabat seorang manusia bahkan terutama harkat dan martabat majikannya. Bagaimana tidak, burung tersebut lebih istimewa daripada majikannya, majikannya rela tidur tak karuan untuk menjamin ketenangannya, rela berpindah tempat demi membangun hotel-hotel tempat kediaman para walet tersebut. Para walet tersebut bahkan dari sisi psikologis manusia dapat menurunkan motivasi para majikannya untuk bekerja keras. Banyak para majikan walet yang telah sukses meraup kekayaan dari sarang walet berpikir untuk tidak usah bekerja lagi, tidak usah bekerja keras lagi, santai saja, uang sudah datang sendiri. Timbullah perilaku pesimistis dan apatis manusia yang hanya mengharapkan hidupnya kepada ciptaan Allah yang lain ini, walet.
Kemudian, menurutku walet pun mempengaruhi sisi agamis para umat Islam di daerahku khususnya, karena dengan adanya walet para masyarakat banyak yang berpikir bahwa walet ini lah segalanya, merekalah yang memberikan rejeki, merekalah yang bekerja keras, mereka lah yang agung dan patut diistimewakan. Salah satu contoh di kampungku, pegatan, disana ada seorang anak penduduk yang memiliki keistimewaan di tubuhnya dengan adanya tanda burung walet, yang mana menurut kepercayaan masyarakat setempat apabila anak tersebut berada di suatu tempat maka tempat tersebut akan dihampiri oleh walet. Akhirnya banyak penduduk yang percaya bahwa anak tersebut membawa berkah dan walet sebagai pemberi berkah kepada mereka.
Risih dan malu sebenarnya aku memikirkannya, seolah-olah aku malu menjadi manusia yang kodratnya menjadi makhluk Allah yang sangat istimewa ini, seolah aku ingin menjadi seekor walet, nauzubillah.
Dengan keberadaan walet yang sudah tidak dapat di atur lagi keberadaannya di kota Sampit ini. Kesenjangan sosial masyarakatpun sangat jelas terlihat, yang kaya makin kaya dengan waletnya, yang miskin merasakan kebisingan suara dan kotorannya walet tersebut. Menyedihkan, namun itulah realita yang terjadi. Pengusaha ayam sepatutnya harus ber-iri hari, karena usaha ayam di perkotaan tidak akan mendapat izin keberadaannya, tetapi pengusaha walet dengan ramainya mendirikan bangunannya di kota tercinta ini.
Itulah sebuah renunganku dipasar sayur di pagi hari sambil menanti sang fajar yang sudah terluka karena tak dihiraukan oleh para manusia keberadaannya. Mungkin ini ialah renungan orang yang iri hari kepada para pemilik walet yang tidak yakin dengan ke-iri hatiannya ini.
Terbangun dari sadarnya renungan akupun melihat mamaku dengan pingkulan bakulnya membawa berbagai kebutuhan warung makan kami bersiap untuk pulang kerumah untuk beraktivitas seperti biasa.
Hidup lebih mengharapkan, tidak lebih baik dari pada hidup dengan usaha kerja keras sendiri. Kadang kita perlu memikirkan kepentingan orang banyak daripada kepentingan sendiri walaupun sebenarnya itu tidak terlalu menguntungkan bagi kepentingan kita sendiri tersebut.



0 comment:

Post a Comment

Harap tinggalkan komentar yang konstruktif sehingga menambah pengalaman dan pengetahuan, dan jangan sampai bersifat sara, terima kasih.